SEMARANG, SotardugaNews.id – UU TPKS mengatur bahwa kesaksian korban bernilai sebagai alat bukti. Jadi hanya diperlukan satu alat bukti lain untuk dilanjutkan dalam proses berikutnya. Kepolisian tidak boleh mengabaikan kesaksian korban dalam pelaporannya.
Demikian pernyataan Willy Aditya, anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem.
Sudah berjalan 1 tahun korban bersama tim kuasa hukum LRC-KJHAM Semarang sejak menyampaikan pengaduan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang di duga dilakukan oleh mantan anggota LPAI di Ditreskrimum Polda Jateng. Namun, hingga saat ini Polda Jateng belum juga menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan.
Ketika dikonfirmasi melalui chat wa ataupun telpon, Kanit PPA, Kompol Munawwarah, tidak memberikan respon.
Tim kuasa hukum, LRC-KJHAM sudah mengirimkan surat permintaan hasil gelar kepada Ditreskrimum Polda Jateng sebanyak 2 kali yaitu pada tanggal 29 Agustus 2023 dan pada tanggal 18 Oktober 2023. Namun, hingga saat inipun Ditreskrimum Polda Jateng belum menjawab surat tersebut.
Ketika dikonfirmasi kepada Dirreskrimum Polda Jateng mengenai surat tersebut. Kombes Johanson Simamora, S.I.K, S.H., M.H., menjawab agar menghubungi Kasubdit Renakta AKBP Sunarno.
Kemudian AKBP Sunarno melalui chat wa menjawab “nanti penyidik akan menjawab suratnya. Sudah diperintahkan untuk menjawab suratnya”.
Namun, hingga saat ini suratnya belum juga dijawab. Padahal konfirmasi tersebut sudah sejak 30 Oktober 2023.
Kasus ini sudah menjadi perhatian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kompolnas Republik Indonesia, dan Komnas Perempuan.
Ketua Harian Kompolnas Republik Indonesia, pak Benny Mamoto sudah bertemu dengan Dirreskrimum Polda Jateng agar kasus ini ditangani dengan baik.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Bintang juga menyampaikan akan terus mengawal kasus ini sampai korban mendapatkan keadilan dan haknya terpenuhi.
Kak Seto, sebagai Ketua Umum LPAI juga menyampaikan kepada tim kuasa hukum berkomitmen untuk mengawal kasus ini sampai si terduga pelaku kekerasan seksual dihukum atas perbuatannya.
Kak Seto, Ketua Umum LPAI menyampaikan bahwa setelah menerima laporan perbuatan mantan wakil sekretarisnya tersebut, menindaklanjuti dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran dan perbuatannya yang merugikan nama baik LPAI dan juga korban-korban. Sehingga LPAI mengambil tindakan pemecatan pada tanggal 3 November 2022.
Kak Seto juga menyayangkan pemanggilan ke Polda Jateng yang sudah 2 kali. Namun, wawancaranya kurang mendalam.
“Kak Seto menyampaikan bahwa hanya diberikan 2 atau 3 pertanyaan oleh penyidik Kompol Munawwarah. Kenapa penyidik tidak menggali latar belakang pemecatan yang dilakukan LPAI terhadap IS. Padahal kita sudah menyampaikan semua bukti-bukti petunjuk”, ujar pendamping
Tim kuasa hukum LRC-KJHAM, Dian Puspitasari, S.H. menyampaikan Dalam penanganan kasus TPKS dibutuhkan keberanian penyidik Polda Jateng dalam menerapkan UU TPKS. Sebagaimana keberanian korban melaporkan kasusnya. UU TPKS membawa paradigma baru dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
Semua upaya sudah dilakukan, berkoordinasi dengan KP3A, Kompolnas RI dan Komnas Perempuan.
Pendamping juga membuat pengaduan terhadap ucapan aparat penegak hukum atas nama Kompol Agus Sunandar di Bidpropam Polda Jateng. Namun, lagi-lagi biasalah polisi melindungi polisi.
“Bidpropam Polda Jateng melakukan gelar tanpa permintaan keterangan dari pelapor, kemudian hasilnya pun tidak sesuai dengan fakta”, ujar pendamping.
Dari sejak awal, Kompol Agus Sunandar sudah langsung menggiring kasus ini terjadi atas dasar suka sama suka.
Polisi tidak seharusnya menganggap kekerasan seksual pada korban dewasa terjadi karena suka sama suka.
“Jangan jadikan korban menjadi korban lagi karena tidak mendapat keadilan ketika melaporkan pelanggaran terhadap hak asasinya, pelanggaran terhadap tubuhnya”, ujar Willy Aditya.
Negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong agar korban “dare to speak up”.
Namun, ketika korban berani melaporkan pelanggaran terhadap tubuhnya justru aparat penegak hukum melecehkan korban dengan mengungkapkan terjadi atas dasar suka sama suka.
Bahkan aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan keadilan justru “menjual” keadilan di atas penyelesaian diluar hukum yaitu menikahkan korban dengan pelaku.
Sungguh ironis, namun inilah tantangan dilapangan terhadap implementasi UU TPKS.
“Hapuskan paradigma lama. Hapuskan paradigma bahwa kasus kekerasan seksual pada orang dewasa terjadi karena suka sama suka. Hapuskan menikahkan korban dengan pelaku yang justru malah melindungi pelaku kejahatan”, ujar pendamping.
(Red)